Beranda | Artikel
Seri Faidah Mengenal Tauhid # 4
Selasa, 27 November 2018

Bismillah.

Setelah penulis membawakan dua buah ayat yang menjelaskan tentang kedudukan tauhid dan hakikatnya maka beliau pun membawakan firman Allah dalam surat al-Israa’ yang semakin memperjelas tentang hakikat tauhid tersebut.

وقوله: {وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا} [(23) سورة الإسراء]

Firman Allah (yang artinya), “Dan Rabbmu telah menetapkan bahwa janganlah kalian beribadah kecuali kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaklah berbuat baik.” (al-Israa’ : 23)

Syaikh Abdul Karim al-Khudhair hafizhahullah menjelaskan :

الآيات التي ساقها الإمام -رحمة الله عليه- في هذه الترجمة كلها تقرر معنى لا إله إلا الله، ففيها النفي والإثبات، الحصر بطريق النفي والإثبات.

“{وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ}”: هذا حصر، حصر العبادة به -جل وعلا-، فلا يجوز أن يعبد غيره،

Ayat-ayat yang diawakan oleh al-Imam -semoga Allah merahmatinya- di dalam bab ini semuanya menetapkan makna laa ilaha illallah. Di dalamnya terkandung penafian dan penetapan. Yaitu pembatasan dengan metode penafian dan penetapan. “Dan Rabbmu telah menetapkan; janganlah kalian beribadah kecuali kepada-Nya.” Ini adalah pembatasan; pembatasan ibadah untuk Allah semata, maka tidak boleh beribadah kepada selain-Nya.

(lihat Transkrip Syarh Kitab Tauhid, bagian 1, hlm. 15)

Hal ini juga semakin jelas dengan dibawakannya ayat berikutnya di dalam surat an-Nisaa’.

وقوله: {وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا} [(36) سورة النساء]

Firman Allah (yang artinya), “Dan beribadahlah kepada Allah, janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36)

Di dalam kalimat ini juga terkandung makna dari kalimat laa ilaha illallah; menolak peribadatan kepada selain Allah dan menetapkan bahwa segala bentuk ibadah hanya dipersembahkan kepada Allah. Ayat ini juga dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di dalam risalahnya yang lain yaitu Ushul Tsalatsah (tiga landasan utama) dalam konteks penjelasan perkara paling agung yang diperintahkan Allah yaitu tauhid dan perkara yang paling besar yang dilarang Allah yaitu syirik. Sebagaimana sudah berlalu dalam pembahasan sebelumnya bahwa setiap perintah beribadah pada hakikatnya adalah perintah untuk bertauhid. Dan setiap perintah untuk bertauhid secara otomatis terkandung di dalamnya larangan berbuat syirik.

Oleh sebab itu di dalam risalahnya yang lain yaitu Qawa’id Arba’ (empat kaidah pokok), Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyatakan ‘sesungguhnya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali bersama dengan tauhid. Apabila syirik mencampuri ibadah maka ia menjadi rusak sebagaimana hadats yang mencampuri thaharah.’ Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa ibadah adalah pemurnian segala bentuk ketaatan dan amalan untuk Allah semata. Tidaklah amalan dikatakan ibadah apabila tercampuri dengan syirik kepada Allah, sebanyak apapun amalan itu.

Sebagaimana telah ditegaskan dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman (yang artinya), “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya antara Aku dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim). Dalam al-Qur’an Allah pun menegaskan dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan seandainya mereka itu melakukan syirik pasti akan lenyap semua amal yang dahulu pernah mereka kerjakan.” (al-An’am : 88)

Dari sinilah kita juga bisa mengetahui betapa besar bahaya syirik dalam kehidupan seorang muslim. Karena syirik merupakan dosa besar yang paling besar dan penyebab batalnya keislaman. Oleh sebab itulah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pun menulis risalah khusus tentang pembatal-pembatal keislaman dan perkara pertama yang beliau sebutkan adalah syirik dalam beribadah kepada Allah. Syirik adalah menujukan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah seperti menyembelih -untuk ritual- kepada selain Allah, bernadzar untuk selain Allah, sujud kepada selain Allah, berdoa kepada selain Allah, dsb (lihat Durus fi Syarh Nawaqidh Islam, hlm. 41)

Oleh sebab itu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di dalam mukadimah risalahnya Ushul Tsalatsah juga menekankan pentingnya kaidah ini dalam ucapan beliau, ‘Bahwasanya Allah tidak ridha dipersekutukan bersama-Nya dalam beribadah kepada-Nya siapa pun juga; apakah itu malaikat yang dekat -dengan Allah- ataupun seorang nabi utusan.” Beliau pun membawakan dalilnya yaitu firman Allah (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allah, maka janganlah kalian menyeru/berdoa kepada selain Allah -bersama-Nya- siapa pun juga.” (al-Jin : 19)

Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah memetik faidah yang sangat berharga dari ayat yang dibawakan oleh penulis tersebut -dalam surat an-Nisaa’ ayat 36- bahwa menjauhi syirik merupakan salah satu syarat benarnya ibadah. Sehingga ibadah tidak akan benar kecuali dengan menjauhi syirik. Salah satu dalilnya adalah firman Allah (yang artinya), “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang yang merugi.” (az-Zumar : 65) (lihat keterangan beliau dalam Qurratu ‘Uyun al-Muwahhidin, at-Ta’liq al-Mukhtashar, hlm. 30-31)

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah juga memetik faidah yang sangat penting berkaitan dengan larangan berbuat syirik di dalam ayat tersebut, “Dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” Hal ini mengandung makna luas mencakup segala sesuatu yang dijadikan sekutu bagi Allah. Oleh sebab itu tidak boleh menjadikan nabi, malaikat, wali ataupun suatu urusan dunia sebagai sekutu bagi Allah. Beliau berkata, “Jangan anda jadikan dunia sebagai sekutu bersama dengan Allah. Seorang insan apabila puncak cita-citanya adalah demi mencari kepuasan duniawi maka dia adalah orang yang menghamba kepadanya.” Sebagaimana disebutkan dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, dst.” (HR. Bukhari) (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, 1/17 cet. Maktabah al-’Ilmu)

Syirik merupakan perkara terbesar yang dilarang oleh Allah, karena hak yang paling agung adalah hak Allah. Sementara ibadah adalah hak Allah; hanya Allah yang pantas disembah. Oleh sebab itu barangsiapa yang meremehkan hak ini sungguh dia telah meremehkan hak yang paling agung yaitu tauhid kepada Allah. Karena itulah Allah menyebut syirik sebagai kezaliman yang sangat besar. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya syirik benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (Luqman : 13) (lihat Syarh Tsalatsah Ushul oleh Syaikh al-Utsaimin rahimahullah, hlm. 41)

Dari ayat tersebut kita bisa membagi manusia menjadi tiga golongan :
– Orang yang tidak mau beribadah kepada Allah; yaitu orang kafir yang menyombongkan diri
– Orang yang beribadah kepada Allah dan selain Allah; yaitu orang kafir lagi musyrik
– Orang yang beribadah kepada Allah semata; yaitu orang muslim yang ikhlas/ahli tauhid
(lihat Syarh Tsalatsah Ushul oleh Syaikh al-Utsaimin rahimahullah, hlm. 42)

Semoga catatan singkat ini bermanfaat bagi kita semuanya. Wallahul muwaffiq.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/seri-faidah-mengenal-tauhid-4/